Tradisi Sekaten di Yogyakarta

Tradisi Sekaten di Yogyakarta: Perpaduan Religi dan Seni

Setiap bulan Maulud (Rabiul Awal), Keraton Yogyakarta menggelar Sekaten—upacara peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang berusia 470 tahun sejak Sultan Hamengku Buwono I (1755). Nama “Sekaten” berasal dari “syahadatain”—dua kalimat syahadat—tapi kini jadi pesta rakyat 7 hari 7 malam yang memadukan Islam, Hindu-Buddha, dan animisme Jawa dalam harmoni unik.

Malam 5 Maulud, dua set gamelan pusakaKyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu—dikeluarkan dari Bangsal Sri Manganti. Gamelan sekati ini hanya dimainkan dua kali setahun (Sekaten dan Grebeg Mulud), laras slendro dengan nada “ngelik” yang konon mengusir roh jahat. Tabuhan dimulai pukul 23.00–04.00; abdi dalem berpakaian beskap putih memukul bonang dan saron di Pagelaran Keraton. Suara “gong ageng” berdiameter 1,5 m bergema hingga 3 km—penduduk Alun-Alun Kidul bangun untuk sembahyang.

Pasar Malam Sekaten (6–12 Maulud) adalah jiwa rakyat. Alun-Alun Utara berubah jadi kota lampion: 1.200 gerobak jajan menjajakan gudangan (sayur rebus dengan parutan kelapa), kue apem, dan jadah—makanan wajib yang konon membawa berkah. Gunungan sekaten—tumpeng nasi kuning setinggi 1 m dengan lauk kambing utuh—dibawa dari Masjid Gedhe Kauman ke Siti Hinggil pada 12 Maulud siang. Rakyat berebut “berebut berkah”—potongan gunungan dianggap obat mujarab dan penolak bala.

Grebeg Mulud adalah klimaks. Pukul 09.00, 5 gunungan (3 lanang, 2 wadon) diberangkatkan dari Kemandungan ke Masjid Gedhe. Bregada keraton—prajurit berpakaian surjan lurik dan blangkon—mengiringi dengan langkah wirama. Di Plaza Ngasem, gunungan dibagikan: nasi untuk rakyat, sayur untuk abdi dalem, kambing untuk masjid. Sisa gunungan ditanam di sawah sebagai pupuk suci.

Sekaten adalah laboratorium akulturasi. Gamelan sekaten berasal dari gong Majapahit abad 14, tapi irama “Ladrang Wilujeng” memuji Nabi. Wayang kulit malam hari ceritakan “Menak Amir Hamzah”—paman Nabi—tapi tokoh Semar tetap muncul sebagai penutur kebijaksanaan Jawa. Dzikir di masjid bercampur mantra Jawa Kuno—semua diterima sebagai “ngalamat” (tanda).

Modernitas merangkul tradisi. Live streaming Sekaten 2024 tonton 2 juta viewers; tiket masuk Rp10.000 dana restorasi gamelan. Zero waste diterapkan: piring daun pisang, larangan plastik. Abdi dalem milenial (usia 20–30) capai 15% (2024)—mereka latihan via app “Sekaten Virtual”.

Sekaten adalah napas Yogyakarta: di tengah denting gamelan dan aroma gudangan, Islam bertemu Jawa—bukan untuk bersaing, tapi berpelukan. Setiap tahun, kota ini berkata:

By admin

Related Post