Upacara Kasada di Bromo: Perpaduan Alam dan Kepercayaan
Di kaki Gunung Bromo, setiap bulan Kasada (bulan ke-10 kalender Tengger), ribuan suku Tengger menaiki 250 anak tangga menuju Pura Luhur Poten di lautan pasir. Upacara Kasada, warisan abad 15 dari Kerajaan Majapahit, adalah persembahan kepada Sang Hyang Widhi dan Roro Anteng–Joko Seger—pasangan legendaris yang konon mendirikan komunitas Tengger setelah melarikan diri dari keruntuhan Majapahit. Ritual ini bukan sekadar tradisi—ia adalah dialog hidup antara manusia, gunung, dan leluhur.
Malam Kasada dimulai pukul 00.00. Dukun pandita memimpin sembahyang di pura berpasir hitam, dikelilingi oden-oden—patung dewa dari kayu cendana. Sesaji disusun: ayam putih, kelapa gading, bunga tujuh rupa, dan sayuran organik dari ladang kentang 2.400 mdpl. Saat fajar, sesaji hidup—kambing, ayam, hingga uang kertas—dilempar ke kawah Bromo yang berdiameter 800 m dan berasap belerang. Konon, leluhur di dalam kawah menerima persembahan agar gunung tak murka, panen subur, dan wabah menjauh.
Ngabasmi adalah momen paling dramatis. Ratusan pemuda Tengger turun ke kawah dengan tali anyaman ijuk—panjang 100 m, tebal 5 cm. Mereka berebut sesaji yang terlempar, percaya barang yang tertangkap membawa berkah setahun. Tahun 2024, 12.000 pengunjung menyaksikan—tapi hanya warga Tengger yang boleh turun, sisanya menyaksikan dari Puncak Penanjakan (2.770 mdpl) saat sunrise menyapu lautan pasir seperti emas cair.
Kalender Kasada ditentukan dukun adat berdasarkan bulan purnama dan angin muson. Persiapan memakan 40 hari: menanam padi sacca (padi suci) di sawah terasering, menenun tenun ikat Tengger bermotif gunung dan awan. Warga Ngadas (desa tertinggi, 2.500 mdpl) membawa tumpeng robyong—nasi kuning setinggi 1 m—sebagai simbol kemakmuran. Larung sesaji ke kawah diiringi gamelan slendro dan mantra Jawa Kuno yang hanya dipahami 7 dukun senior.
Ritual ini hidup di tengah modernitas. Listrik tenaga surya kini menerangi pura, drone merekam dari atas, dan tiket masuk Rp320.000 (wis